Sejarah dan Kebudayaan Suku Donggo Nusa Tenggara Barat
tarian kalero |
Sejarah
dan Kebudayaan Suku Donggo Nusa Tenggara Barat. Suku Donggo atau Dou
Donggo adalah suku yang mendiami kecamatan Donggo kabupaten Bima
provinsi Nusa Tenggara Barat. Mereka termaksud penduduk pertama yang
menghuni daerah Bima. Menurut peneliti bahwa suku Donggo ini memiliki
bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan suku Bima (Dou Mbojo) namun
memiliki kesamaan dengan masyarakat daerah di Lombok bagian utara.
Baca Juga:
35 Rumah Adat Di Indonesia + Gambar Paling Lengkap
Sejarah
Kata
"donggo" atau "dou donggo" berarti "orang gunung". Suku Donggo terbagi
dari 2 kelompok, yang dapat dibedakan berdasarkan daerahnya, yaitu
Donggo Ipa dan Donggo Ela. Daerah Donggo Ipa terletak di sebelah timur
teluk Bima, sedangkan suku Donggo Ela terletak di sebelah barat teluk
Bima. Perkampungan mereka terletak di pinggir jalan atau sungai.
Bahasa
Suku
Donggo menggunakan bahasa Bima Donggo dalam percakapan sehari-hari.
Bahasa Bima Donggo memiliki 2 kasta bahasa, yang disebut sebagai bahasa
halus dan bahasa kasar.
Rumah Adat
Suku Donggo memiliki rumah adat tradisional disebut Uma Leme yang bentuknya berbeda dengan masyarakat lain di Bima. Tinggi rumah ini mencapai 7 meter dengan ukuran sekitar 3×4 meter. Atap yang digunakan adalah alang-alang dan menggunakan dinding kayu sangga (kayu yang diyakini bisa menolak bala dan bencana). Rumah ini disebut juga rumah Ncuhi atau Uma Ncuhi. Di rumah ini disimpan barang-barang sesembakan dan alat-alat kesenian.
Kesenian
Masyarakat Donggo memiliki beberapa seni budaya dan upacara adat, diantaranya adalah
1. Upacara Kasaro (acara untuk orang meninggal)
2. Upacara Sapisari (penguburan)
3. Doa Rasa (doa kampung) yang diadakan 5 tahun sekali
6. Tari Kalero dan pesta Raju (anjing hutan).
Sistem Kepercayaan
Sebagian
besar suku Donggo memeluk agama Islam dan sebagian kecil memeluk agama
Kristen. Dahulu sebelum orang Donggo memeluk agama Islam dan Kristen,
mereka menganut agama kepercayaan terhadap dewa-dewa, yang mengandung
unsur Hindu-Budha. Mereka menjunjung tinggi Lewa (dewa) yaitu kekuatan
gaib yang ada di alam. Dewa yang tertinggi dan ditakuti adalah Lewa
Langi (Dewa Langit) yang tinggal di matahari. Mereka juga percaya
roh-roh di sekitar mereka yang dalam bahasa Donggo disebut Rawi. Dalam
keyakinan mereka, ada roh yang suka mengganggu dan roh yang suka
menolong, misalnya Rawi Ndoe (angin dari roh nenek moyang atau
pelindung).
Wilayah
Sebagian
masyarakat Donggo menempati wilayah kecamatan Donggo, yang dikenal
dengan nama Dou Donggo Sebagian lain mendiami kecamatan Wawo Tengah
(pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo
Ele. Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami
wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami
wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru
yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula.
Untuk
mempertahankan kepercayaan leluhur maka mereka mendiami wilayah
pegunungan. Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan
terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang
telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat
sukar untuk ditinggalkan meskipun mereka telah menganut agama baru.
Pakaian Adat
1. Pakaian adat wanita
Pakaian
adat suku Donggo didominasi dengan warna hitam dan telah mereka pakai
sejak zaman nenek moyang dahulu, yang digunakan pada upacara adat dan
ritual masyarakat Donggo. Pakaian adat untuk perempuan dewasa
menggunakan Kababu, yang terbuat dari benang katun yang disebut baju
pendek (baju Poro). Di bagian bawah memakai Deko (sejenis celana panjang
sampai di bawah lutut). Mereka menggunakan kalung dan manik manik
giwang sebagai perhiasannya. Sedangkan untuk perempuan remaja tetap
memakai Kababu yang membedakan adalah cara memakai perhiasan yang
terlihat agak unik yaitu dengan dililitkan dan dibiarkan terjuntai dari
leher ke dada.
2. Pakaian Adat Laki-laki
Laki-laki
suku Donggo mengenakan baju Mbolo Wo’o (baju leher bundar berwarna
hitam). Di bagian bawah mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e
Donggo, yang terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis
putih. Lalu dipinggang dipasang Salongo (sejenis ikat pinggang berwarna
merah atau kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau
atau keris atau parang). Untuk alas kaki atau sandal mereka menggunakan
Sadopa yang terbuat dari kulit binatang.
Baca Juga:
Lengkap Rumah Adat Joglo ( Jawa Tengah ) Gambar dan Penjelasanya
Senjata Tradisional
Senjata tradisional masyarakat Donggo adalah Pisau Mone (pisau kecil) yang behulu panjang dengan bentuk agak panjang.
Mata pencaharian
Masyrakat
Donggo pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti menanam padi
di sawah dan menanam berbagai tanaman di ladang dan di kebun. Namun
mereka juga memelihara hewan ternak, seperti kuda dan sapi dan berburu
di hutan. Suku donggo juga terkenal karena ahli dalam meramu. Sebelum
mengenal teknik pertanian, mereka biasanya melakukan perladangan
berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu
berpindah-pindah pula (nomaden)
Sumber:
http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/11/suku-donggo-nusa-tenggara-barat.html diakses tanggal 25 oktober 2015
sumber foto:
alanmalingi.wordpress.com diakses tanggal 25 oktober 2015
Belum ada Komentar untuk "Sejarah dan Kebudayaan Suku Donggo Nusa Tenggara Barat"