Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Suku Aceh
suku aceh |
Suku Aceh sebenarnya merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh yang terikat dengan kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas Aceh.
Zaman dahulu kaum suku Aceh hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di pemukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, ketika kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang mencapai puncaknya pada abad ke-17. Orang Aceh sangat taat pada ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan dalam melawan penaklukan colonial Portugis dan Belanda.
Baca Juga:
√ Artikel Tari Papatai Kalimantan Timur
Asal keturunan
Menurut bukti-bukti arkeologis, awalnya penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak. Pada saat itu mereka sudah menggunakan api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.
Selanjutnya pembentukan suku-suku Aceh terjadi ketika perpindahan suku-suku asli Mantir dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang datang dan membentuk penduduk pribumi Aceh. Selain itu bangsa asing, seperti bangsa India selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga merupakan bagian komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak merupakan campuran dari bangsa-bangsa lain.
Proto dan Deutero Melayu
Menurut legenda rakyat Aceh, penduduk Aceh terawal berasal dari suku-suku asli, yaitu;
1. Suku Mante (Mantir)
2. Suku Lhan (Lanun).
Suku Mante diduga berkerabat dekat dengan suku Batak, suku Gayo, dan Alas. Sedangkan suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung Malaya atau Hindia Belakang (Champa, Burma).
Suku Mante mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. Ada pula dugaan secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa Funisia di Babilonia atau Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum dapat ditetapkan oleh para ahli kepastiannya.
Ketika Kerajaan Sriwijaya memasuki masa kemundurannya, diperkirakan sekelompok suku Melayu mulai berpindah ke tanah Aceh. Di lembah sungai Tamiang yang subur mereka kemudian menetap, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan suku Tamiang. Setelah mereka ditaklukkan oleh Kerajaan Samudera Pasai (1330), mulailah integrasi mereka ke dalam masyarakat Aceh, walau secara adat dan dialek tetap terdapat kedekatan dengan budaya Melayu.
Suku Minang yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di sekitar Meulaboh dan lembah Krueng Seunagan. Umumnya daerah subur ini mereka kelola sebagai persawahan basah dan kebun lada, serta sebagian lagi juga berdagang. Penduduk campuran Aceh-Minang ini banyak pula terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah sekitar Susoh, Tapaktuan, dan Labuhan Haji. Mereka banyak yang sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Aneuk Jamee, yaitu dialek khusus mereka sendiri.
Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh Darussalam ke wilayah sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur dengan suku-suku Alas, Gayo, Karo, Nias, dan Kluet. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan itu terutama ialah dalam bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat khas setempat, sebagaimana yang dirumuskan oleh Sultan Iskandar Muda dalam undang-undang Adat Makuta Alam.
Suku Aceh juga ada yang merupakan keturunan dari bangsa-bangsa lain di luar negeri. Mereka datang dari luar dalam rangka perdagangan dan penyebaran agama. Berikut suku-suku bangsa tersebut;
India
Keturunan bangsa India di Aceh berhubung erat dengan perdagangan dan penyebaran agama Hindu-Buddha dan Islam di tanah Aceh. Bangsa India kebanyakan dari Tamil dan Gujarat.
Arab
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Di antara para pendatang tersebut terdapat antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama penyebar agama Islam dan sebagai perdagang. Daerah Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak memiliki ulama-ulama keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan sebutan Teungku Jet atau Habib. Demikian pula, sebagian Sultan Aceh adalah juga keturunan sayyid. Keturunan mereka di masa kini banyak yang sudah kawin campur dengan penduduk asli suku Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Persia
Bangsa Persia umumnya datang untuk menyebarkan agama dan berdagang di Aceh, namun kemudian juga menetap disana.
Turki
Bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh.
Saat ini dapat ditemukan keturunan bangsa Persia dan Turki di wilayah Aceh Besar. Nama-nama warisan Persia dan Turki biasa digunakan orang Aceh untuk menamai anak-anak mereka. Kata Banda dalam nama kota Banda Aceh juga adalah kata yang berasal dari bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan").
Portugis
Keturunan bangsa Portugis banyak terdapat di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka datang saat pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka, sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, di mana sebagian di antara mereka lalu tinggal menetap di sana.
Peristiwa tersebut tercata dalam sejarah antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Dan sampai saat ini, masih dapat dilihat keturunan rakyat Aceh yang masih memiliki profil wajah Eropa.
Budaya
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh, yang termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia dan bahasa Austronesia. Bahasa Aceh memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru, Utset dan bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dipertuturkan di Kamboja, Vietnam, dan Hainan. Adanya kata-kata pinjaman dari bahasa bahasa Mon-Khmer menunjukkan kemungkinan nenek-moyang suku Aceh berdiam di Semenanjung Melayu atau Thailand selatan yang berbatasan dengan para penutur Mon-Khmer, sebelum bermigrasi ke Sumatera.
Kosakata bahasa Aceh juga banyak diperkaya oleh bahasa Sanskerta dan bahasa Arab. Selama berabad-abad bahasa Aceh juga banyak menyerap dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau adalah kerabat bahasa Aceh-Chamik yang selanjutnya, yaitu sama-sama tergolong dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat.
Baca Juga:
√ Artikel Amplang cemilan lezat dari kalimantan timur
Senjata Tradisional
Senjata tradisional rakya Aceh adalah Rencong.
Tarian
Tarian tradisional yang terdapat di Aceh menggambarkan warisan adat, agama, dan cerita rakyat setempat. Umumnya tarian Aceh dibawakan secara berkelompok, di mana sekelompok penari berasal dari jenis kelamin yang sama, dan posisi menarikannya ada yang berdiri maupun duduk. Bila dilihat dari musik pengiringnya, tari-tarian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu yang diiringi dengan vokal dan perkusi tubuh penarinya sendiri, serta yang diiringi dengan ensambel alat musik.
Berikut jenis-jenis tari yang terdapat di Aceh:
- Tari Seudati
- Tari Rateb Meuseukat
- Tari Likok Pulo
- Tari Laweut
- Tari Pho
- Tari Ratoh Duek
- Tari Tarek Pukat
- Tari Rabbani Wahed
- Tari Ranup lam Puan
- Tari Rapa'i Geleng
sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Aceh diakses tanggal 27 januari 2015
sumber foto:
kila-homestay.blogspot.com
newsdesa.blogspot.com
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Suku Aceh"