Artikel Sejarah dan Kebudayaan Suku Banjar
Penjelasan singkat Suku Banjar Asal Kalimantan Selatan. Suku Banjar dalam bahasa
Banjar biasa disebut Urang Banjar adalah salah satu suku bangsa yang
menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah
dan sebagian Kalimantan Timur. Namun populasi Suku Banjar juga dapat
ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia
karena migrasi orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu.
Sejarah
Suku
bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran
masyarakat DAS DAS Bahan, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio.
Sungai Barito bagian hilir merupakan pusatnya suku Banjar. Kemunculan
suku Banjar bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis,
sosiologis, dan agamis.
Menurut
Hikayat Banjar, dahulu kala penduduk pribumi Kalimantan Selatan belum
terikat dengan satu kekuatan politik dan masing-masing puak masih
menyebut dirinya berdasarkan asal Daerah Aliran Sungai misalnya orang
batang Alai, orang batang Amandit, orang batang Tabalong, orang batang
Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sebuah entitas
politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak
yang mendiami semua daerah aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian
digantikan oleh Negara Daha. Semua penduduk Kalsel saat itu merupakan
warga Kerajaan Negara Daha, sampai ketika seorang Pangeran dari Negara
Daha mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Barito yaitu Kesultanan
Banjar. Dari sanalah nama Banjar berasal, yaitu dari nama Kampung Banjar
yang terletak di muara Sungai Kuin, di tepi kanan sungai Barito.
Baca Juga:
Ulasan Singkat Suku Etoro Papua Nugini | Suku Dunia
Mitologi
suku Dayak Meratus (Suku Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama
Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak
beradik yaitu Si Ayuh/Datung Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan
suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang Basiwara yang menurunkan suku
Banjar.
Sesuai
dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak
Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak
Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang
sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul dari aksi heroik
Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh,
yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang
berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat menentukan.
Suku
bangsa Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan dan
Ngaju yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak
zaman Sriwijaya dan kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan
oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari
kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa
Banjar. Suku bangsa Banjar terbagi menjadi tiga subsuku, yaitu :
1. (Banjar) Pahuluan
Banjar
Pahuluan pada asasnya adalah penduduk daerah lembah-lembah sungai
(cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus.
2. (Banjar) Batang Banyu
Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara
3. Banjar (Kuala)
Sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura.
Bahasa
yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam
dua dialek besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Nama Banjar
diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan
pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat
Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika
ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama
tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Banjar Pahuluan
Sangat
mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton
yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga
terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi
Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan
raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu
menjumpai penduduk pedalaman, yaitu Orang Bukit, yang dahulu
diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama.
Untuk
kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal
bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek
pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan
komplek pemukimanbubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh
yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin
ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model
yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di
kalangan masyarakat orang Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai
sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus
ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di
daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan
daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas
menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja
dengan kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut membentuknya.
Banjar Batang Banyu
Masyarakat
(Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan
terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang
barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya
yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di ibukota tentu
merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang
terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal
tradisional dari Orang Maanyan (dan Orang Lawangan), sehingga diduga
banyak yang ikut serta membentuk subsuku Banjar Batang Banyu, di samping
tentu saja orang-orang asalPahuluan yang pindah ke sana dan para
pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup
dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu
yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
Banjar Kuala
Ketika
pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan
Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat
kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton
yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini
mereka berjumpa dengan orang Ngaju, yang seperti halnya dengan
masyarakat Bukit dan masyarakat Maanyan serta Lawangan, banyak di antara
mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka
memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota
kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang
Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa
menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang
terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu
tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Sistem kekerabatan
Seperti
sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah
tertentu sebagai panggilan dalam keluarga yang berpusat dari ULUN
sebagai penyebutnya. Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara
dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut
Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu
disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman muda/kecil)
dan Makacil (bibi muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk
memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara
datu.
Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
- minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
- pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
- mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
- mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
- sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
- mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
- kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
- sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
- maruai (isteri sama isteri bersaudara)
- ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
- panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
- pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
- badangsanak (saudara kandung)
Untuk
memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga
menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk
menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata
ulun untuk menunjuk diri sendiri.
Kebudayaan
Kehidupan
orang Banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat
dengan budaya sungai. Sebagai sarana transportasi, orang Banjar
mengembangkan beragam jukung (perahu) sesuai dengan fungsinya yakni
Jukung Pahumaan, Jukung Paiwakan, Jukung Paramuan, Jukung Palambakan,
Jukung Pambarasan, Jukung Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca Banyu,
Jukung Getek, Jukung Palanjaan, Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan,
Jukung Undaan, Jukung Tiung dan lain-lain. Kondisi geografis Kalimantan
Selatan yang banyak memiliki sungai dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
oleh orang Banjar, sehingga salah satu keahlian orang Banjar adalah
mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan
permukiman. Sistem irigasi khas orang Banjar yang dikembangkan
masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga
yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer yang
menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum
dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana
transportasi. Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam
saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk
menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya
lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan
tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air
yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil
dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.
Rumah Banjar
Rumah
Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional
ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada
atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah
tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai
berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak
jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah
Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi
lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan
Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian)
berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan
Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya
pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang
dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan
bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus
dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah
tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan
mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah
Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi
bahasa Banjar.
Teater
Seni
teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda.
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari
Kalimantan Selatan.
Musik
Salah
satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik
Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik
yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka
disebut musik panting.
Selain
itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik
Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa
Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura.
Tarian
Seni
Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di
lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat.
Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa
Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya.
Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman
hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap
tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.
Baca Juga:
11 Bangsa Paling Berpengaruh Pada Perkembangan Zaman
Kuliner
Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar, soto Banjar, ketupat Kandangan, kue bingka dan lain-lain.
Senjata Tradisional
Berdasarkan
hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah memakainya, senjata
tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari
antara lain :
1. Serapang
Serapang
adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar seperti cakar
elang dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi berada di
tengah tanpa bait, yang disebut “besi lapar” yang di percaya dapat
merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.
2. Tiruk
Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus) dan toman di sungai.
3. Pangambangan
Pangambangan adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
4. Duha
Duha adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar diakses tanggal 8 maret 2015
Belum ada Komentar untuk "Artikel Sejarah dan Kebudayaan Suku Banjar"