Sejarah dan Kebudayaan Suku Sasak yang ada di Lombok NTB
photo: wacananusantara.org |
Suku
Sasak adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mendiami pulau
Lombok. Mayoritas suku Sasak beragama Islam, namun ada sebagian dari
mereka yang berbeda dalam menjalankan ibadahnya, dan mereka disebut
sebagai Islam Wetu Telu. Jumlah islam Wetu Telu hanya berjumlah sekitar
1% yang melakukan praktik ibadah seperti itu. Selain itu ada pula
sedikit warga suku Sasak yang masih menganut kepercayaan pra-Islam yang
disebut dengan nama "Sasak Boda".
Suku Sasak
telah menghuni Pulau Lombok sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara
penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa. Ada juga yang
menyatakan leluhur orang sasak adalah orang Jawa.
Sejarah
Asal
mula nama Sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya
sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu
dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan
warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang
artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya
lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang
lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo
Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama
(Desawarnana), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan
kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok"
dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, "Mirah" berarti permata,
"sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama.
Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan
yang baik atau utama.
Pendapat lain Menurut Goris S.,
“Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi”
dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan
bahwasasak memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian
inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti
lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak
disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah
Jawa, pada perkembangannya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para
pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Baca Juga:
Arti Kata dan Makna Gelar Daeng Makassar
Bahasa
Bahasa
yang digunakan suku Sasak memiliki kedekatan dengan sistem aksara
Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati
demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih memiliki
kedekatan dengan bahasa Bali. Menurut penelitian para etnologi yang
mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak
kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan
ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Bahasa
Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya
dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah
penuturnya seperti;
1. Mriak-Mriku (Lombok Selatan)
2. Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah)
3. Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara)
4. Kuto-Kute (Lombok Utara)
Adat
Salah
satu adat istiadat suku Sasak yang menonjol adalah adat dalam proses
perkawinan. Perempuan yang mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang
perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki,
ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau pelarian.
Dalam
proses pelarian gadis tidak perlu memberitahukan kepada orang tuanya.
Namun dalam pelarian ini memiliki aturan yang perlu diikuti. Salah satu
aturan dalam mencuri gadis biasanya dilakukan dengan membawa beberapa
orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk
mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. Gadis
yang dibawa lari juga tidak langsung ke rumah laki-laki tetapi harus
dititip di rumah kerabat lelaki tersebut.
Struktur dan Sistem Masyarakat
Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu
1. Golongan bangsawan yang disebut perwangsa
2. Bangsa Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu:
1. Perwangsa
Bangsawan
penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka
juga disebut Raden untuk kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan.
Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu.
Perubahan gelar dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya
dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
2. Triwangsa
Bangsawan
rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar lalu untuk para
lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut
jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di
masyarakat umum ini adalah loq dan untuk perempuan adalah le.
Golongan
bangsawan baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para
permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah.
Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka
yang disebut permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan
pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak
sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan
atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, seperti wilayah
Praya dan Sakra, terdapat hak tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan
yang bebas dari kewajiban pajak). Setiap penduduk mempunyai kewajiban
apati getih, yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan ikut serta
dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan memberikan
beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.
Landasan
sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti
garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam
beberapa kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental
(garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola
kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini
mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur
kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah),
Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
Wiring
Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah
keluarga; pernikahan, masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta
warisan disebut pustaka dapat berbentuk tanah, rumah, dan juga
benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali
memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta
waris yang disebut pusaka.
Sistem Kepercayaan
Kepercayaan
asli suku Sasak adalah Boda, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun
ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, namun sistem kepercayaan Boda
tidak memiliki kesamaan dan hubungan dengan Buddhisme. Agama Boda orang
Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka
sendiri.
Beberapa agama seperti Hindu-Budha masuk
kedalam suku ini ketika kerajaan Majapahit masuk. Dan kemudian suku
Sasak memeluk agama islam setelah peran Sunan Giri dalam dakwahnya
menyebarkan islam. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak
sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Selanjutnya
kepercayaan Suku Sasak diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu
Telu, dan Islam (Wetu Lima).
Penganut Boda sebagai
komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di
lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon
adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa
menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan
melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.
Sedangkan
Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan
Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal
itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang
kehidupan senantiasa mengalir.
Pada perkembangannya
Wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Konon, sekarang hampir semua
desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan
Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini
berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok.
Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut
di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah
Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah
tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di
luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan
ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk
urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka;
para kiai dan penghulu.
Arsitektur Suku Sasak
Rumah-rumah
suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di dataran,
perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku
Sasak di wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang
pasti. Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat
dua baris rumah tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi
yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak
adalah rumah besar (bale bele).
Di antara deretan rumah-rumah itu
dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga) sebagai tempat pertemuan.
Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-hari dalam
fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini juga digunakan untuk urusan
keagamaan misalnya upacara penghormatan jenazah sebelum dikuburkan.
Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan bambu
kecil dibangun di wilayah bagian atas dari perkampungan.
Sedikitnya
ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua
lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki
panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung
yang berada di bagian bawah lumbung padi berperan sebagai balai. Di
Lombok bagian utara, tidak semua desa memiliki lumbung padi.
Lumbung
padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak.
Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri
khas yang mirip bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan
ini memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang
besar menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka
utama dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan
rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang.
Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil
yang terletak tinggi di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil
panen. Untuk mencegah hewan pengerat masuk. Piringan kayu besar yang
mereka sebut jelepreng, disusun di bagian atas puncak tiang dasarnya.
Rumah
tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya
memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di
bagian dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap. Bubungan
atapnya curam, terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang lebih
15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding
dasar yang hampir menutupi bagian dinding. Dinding terdiri dari dua
bagian, bagian tengah yang menyatu dengan atap dibuat dari bambu, bagian
bawah dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang permukaannya telah
dipelitur halus.
Rumah digunakan terutama untuk tempat
tidur dan memasak. Masyarakat Sasak jarang menghabiskan waktu di dalam
rumah sepanjang hari. Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur
anggota keluarga, juga terdapat rak di langit-langitnya untuk menyimpan
pusaka dan benda berharga. Anak laki-laki tidur di panggung bawah bagian
luar; anak perempuan tidur di atas bagian dalam panggung.
Untuk
kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi
sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan
jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di
bawah panggung.
Tradisi dan Seni
Dari
sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai
budaya yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Namun,
kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya yang
khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku
lainnya di Nusantara.
Berikut beberapa jenis seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:
Bau Nyale
Nyale
adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang
berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale
bukan sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan
tentang putri yang menjelma menjadi Nyale. Lainnya menyatakan bahwa
Nyale adalah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan
kesuburan dan keselamatan.
Ritual Bau Nyale atau
menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada tanggal 19 atau 20
pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku Sasak,
kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong
Suku
Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi
bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu
jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga
Bontong kurang lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo
Bontong dimaksudkan untuk dapat menghindari bencana atau penyakit.
Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di minggu
terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah.
Baca Juga:
Lengkap Penjelasan Aramba Alat Musik Tradisional Suku Nias – Sumatera Utara
Bebubus Batu
Dari
kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang
dicampur berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada
batu tempat melaksanakan upacara.Bebubus Batu adalah upacara yang
digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini dilaksanakan
tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli
agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian adat serta membawa
dulang, sesajen dari hasil bumi.
Sabuk Beleq Merujuk
kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya
mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang berada di
wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal
tahun Hijriah. Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan
mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan
gendang beleq. Ritual upacara kemudian dilanjutkan dengan menggelar
praja mulud hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai jenis makhluk.
Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan
dan gotong royong antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk
Tuhan.
Lomba Memaos
Memaos
kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut pepaos.
Lomba memaos adalah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan hikayat
dari leluhur mereka. Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah agar
generasi selanjutnya dapat mengetahui kebudayaan dan sejarah masa lalu.
Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi sebagai regenerasi
nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu
kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan
pendukung vokal.
Tandang Mendet
Tandang
Mendet adalah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada
sejak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan
dan perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan
membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng,
tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan
syair-syair perjuangan.
Peresean
Kadang
ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela diri
yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya adalah
latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya,
latihan ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji ketangkasan dan
“keberanian”.
Senjata yang digunakan adalah sebilah
rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk menangkis serangan, pepadu
(pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu
berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan
mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun
terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti oleh pepadu dari
seluruh Pulau Lombok.
Begasingan
Permainan
rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk
permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak. Permainan
tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia.
Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun aturan
permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk
menghantam gasingpengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan
berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata sing
artinya “suara”. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat,
bisa siapa saja, bisa di mana saja.
Alat Musik
Slober
Alat
musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober
dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya
didukung dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling,
dll. Kesenian yang masih dapat anda saksikan hingga saat ini, sangat
asyik jika dimainkan ketika malam bulan purnama.
Gendang Beleq
Satu
dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan pertunjukan
dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel
utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi duduk,
berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis
gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang
laki-laki atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).
Sebagai
pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan
sebagai alat ritmis adalah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq,
sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah gong penyentak, sebuah gong
oncer, dan dua buah lelontek. Menurut cerita, gendang beleq dahulu
dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan.
Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit
yang ikut berperang.
Sumber referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak
http://www.wacananusantara.org/sejarah-dan-tradisi-suku-sasak/
Belum ada Komentar untuk "Sejarah dan Kebudayaan Suku Sasak yang ada di Lombok NTB"