Sejarah dan Asal Usul Rohingya di Myanmar dan Permasalahannya
Sejarah
dan Asal Usul Rohingya di Myanmar. Rohingya adalah sebuah kelompok
etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang
dalam bahasa Rohingya) di Burma. Rohingya adalah etno-linguistik yang
berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang
berlawanan dengan mayoritas rakyat Burma yang Sino-Tibet). Mereka
menggunakan bahasa rohingya untuk berbicara sehari-hari.
Sejarah Rohingnya di Myanmar
Menurut catatan sejarah, komunitas Muslim telah mendiami wilayah Arakan
(nama kuno Rakhine) sejak masa pemerintahan seorang raja Buddhis
bernama Narameikhla atau Min Saw Mun (1430–1434) di kerajaan Mrauk U.
Setelah diasingkan selama 24 tahun di kesultanan Bengal, Narameikhla
mendapatkan tahta di Arakan dengan bantuan dari Sultan Bengal saat itu.
Kemudian ia membawa serta orang-orang Bengali untuk tinggal di Arakan
dan membantu administrasi pemerintahannya demikianlah komunitas Muslim
pertama terbentuk di wilayah itu.
Baca Juga:
√ Lengkap Cara Memainkan Alat Musik Gendang
Saat
itu kerajaan Mrauk U berstatus sebagai kerajaan bawahan dari kesultanan
Bengal sehingga Raja Narameikhla menggunakan gelar dalam bahasa Arab
termasuk dalam nama-nama pejabat istananya dan memakai koin Bengal yang
bertuliskan aksara Arab Persia pada satu sisinya dan aksara Burma pada
sisi lainnya sebagai mata uangnya. Setelah berhasil melepaskan diri dari
kesultanan Bengal, para raja keturunan Narameikhla tetap menggunakan
gelar Arab tersebut dan menganggap diri mereka sebagai sultan serta
berpakaian meniru sultan Mughal. Mereka tetap mempekerjakan orang-orang
Muslim di istana dan walaupun beragama Buddha, berbagai kebiasaan Muslim
dari Bengal tetap dipakai.
Pada
abad ke-17 populasi Muslim meningkat karena mereka dipekerjakan dalam
berbagai bidang kehidupan, tidak hanya dalam pemerintahan saja. Suku
Kamein, salah satu etnis Muslim di Rakhine yang diakui pemerintah
Myanmar saat ini, adalah keturunan orang-orang Muslim yang bermigrasi ke
Arakan pada masa ini. Namun kerukunan dan keharmonisan ini tidak
berlangsung lama. Pada tahun 1785 kerajaan Burma dari selatan menyerang
dan menguasai Arakan; mereka menerapkan politik diskriminasi dengan
mengusir dan mengeksekusi orang-orang Muslim Arakan. Pada tahun 1799
sebanyak 35.000 orang Arakan mengungsi ke wilayah Chittagong di Bengal
yang saat itu dikuasai Inggris untuk mencari perlindungan. Orang-orang
Arakan tersebut menyebut diri mereka sebagai Rooinga (penduduk asli
Arakan), yang kemudian dieja menjadi Rohingya saat ini. Selain itu,
pemerintah kerajaan Burma saat itu juga memindahkan sejumlah besar
penduduk Arakan ke daerah Burma tengah sehingga membuat populasi wilayah
Arakan sangat sedikit ketika Inggris menguasainya.
Pada
tahun 1826 wilayah Arakan diduduki oleh pemerintah kolonial Inggris
setelah perang Inggris-Burma I (1824-1826). Pemerintah Inggris
menerapkan kebijakan memindahkan para petani dari wilayah yang
berdekatan ke Arakan yang saat itu sudah ditinggalkan, termasuk
orang-orang Rohingya yang sebelumnya mengungsi dan orang-orang Bengali
asli dari Chittagong. Saat itu wilayah Arakan dimasukkan dalam daerah
administrasi Bengal sehingga tidak ada batas internasional antara
keduanya dan migrasi penduduk di kedua wilayah itu terjadi dengan mudah.
Pada awal abad ke-19 gelombang imigrasi dari Bengal ke Arakan semakin
meningkat karena didorong oleh kebutuhan akan upah pekerja yang lebih
murah yang didatangkan dari India ke Burma. Seiring waktu jumlah
populasi para pendatang lebih banyak daripada penduduk asli sehingga tak
jarang menimbulkan ketegangan etnis.
Permasalahan Imigrasi
Pada
tahun 1939 konflik di Arakan memuncak sehingga pemerintah Inggris
membentuk komisi khusus yang menyelidiki masalah imigrasi di Arakan,
namun sebelum komisi tersebut dapat merealisasikan hasil kerjanya,
Inggris harus angkat kaki dari Arakan pada akhir Perang Dunia II. Pada
masa Perang Dunia II Jepang menyerang Burma dan mengusir Inggris dari
Arakan yang kemudian dikenal sebagai Rakhine. Pada masa kekosongan
kekuasaan saat itu, kekerasan antara kedua kelompok suku Rakhine yang
beragama Buddha dan suku Rohingya yang beragama Muslim semakin
meningkat. Ditambah lagi, orang-orang Rohingya dipersenjatai oleh
Inggris guna membantu Sekutu untuk mempertahankan wilayah Arakan dari
pendudukan Jepang. Hal ini akhirnya diketahui oleh pemerintah Jepang
yang kemudian melakukan penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap
orang-orang Rohingya. Selama masa ini, puluhan ribu orang Rohingya
mengungsi keluar dari Arakan menuju Bengal. Kekerasan yang
berlarut-larut juga memaksa ribuan orang Burma, India dan Inggris yang
berada di Arakan mengungsi selama periode ini.
Pada
tahun 1940-an orang-orang Rohingya berusaha menjalin kerjasama dengan
Pakistan di bawah Mohammad Ali Jinnah untuk membebaskan wilayahnya dari
Burma, tetapi ditolak oleh pemimpin Pakistan tersebut karena tidak mau
mencampuri urusan internal negeri Burma. Pada tahun 1947 orang-orang
Rohingya membentuk Partai Mujahid yang merupakan kelompok jihad untuk
mendirikan negara Muslim yang merdeka di Arakan utara. Mereka
menggunakan istilah Rohingya sebagai identitas politik mereka dan
menyatakan diri sebagai penduduk asli Arakan. Kemudian Burma merdeka
pada tahun 1948 dan orang-orang Rohingya semakin gencar melancarkan
gerakan separatisnya. Pada tahun 1962 Jenderal Ne Win melakukan kudeta
dan mengambil alih pemerintahan Myanmar. Ia melakukan operasi militer
untuk meredam aksi separatis Rohingya. Salah satu operasi militer yang
dilancarkan pada tahun 1978 yang disebut "Operasi Raja Naga" menyebabkan
lebih dari 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat
kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan besar-besaran. Pemerintah
Bangladesh menyatakan protes atas masuknya gelombang pengungsi Rohingya
ini. Pada bulan Juli 1978 setelah dimediasi oleh PBB, pemerintah Myanmar
menyetujui untuk menerima para imigran Rohingya untuk kembali ke
Rakhine.
Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya
Pada
tahun 1982 pemerintah Bangladesh mengamademen undang-undang
kewarganegaraannya dan menyatakan Rohingya bukan warga negara
Bangladesh. Sejak tahun 1990 sampai saat ini, pemerintah junta militer
Myanmar masih menerapkan politik diskriminasi terhadap suku-suku
minoritas di Myanmar, termasuk Rohingya, Kokang dan Panthay. Para
pengungsi Rohingya melaporkan mereka mengalami kekerasan dan
diskriminasi oleh pemerintah seperti bekerja tanpa digaji dalam
proyek-proyek pemerintah dan pelanggaran HAM lainnya. Pada tahun 2012
kerusuhan rasial pecah antara suku Rakhine dan Rohingya yang dipicu oleh
pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis Rakhine oleh para pemuda
Rohingya yang disusul pembunuhan sepuluh orang pemuda Muslim dalam
sebuah bus oleh orang-orang Rakhine. Menurut pemerintah Myanmar, akibat
kekerasan tersebut, 78 orang tewas, 87 orang luka-luka, dan lebih dari
140.000 orang terlantar dari kedua belah pihak baik suku Rakhine maupun
Rohingya. Pemerintah menerapkan jam malam dan keadaan darurat yang
memungkinkan pihak militer bertindak di Rakhine. Walaupun para aktivitis
LSM Rohingya menuduh bahwa pihak kepolisian dan kekuatan militer turut
berperan serta dalam kekerasan dan menangkap orang-orang Rohingya,
tetapi penyelidikan oleh organisasi International Crisis Group
melaporkan bahwa kedua belah pihak mendapatkan perlindungan dan keamanan
dari pihak militer. Pada tahun 2014 pemerintah Myanmar melarang
penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya
sebagai orang Bengali dalam sensus penduduk saat itu. Pada bulan Maret
2015 yang lalu pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas penduduk bagi
orang-orang Rohingya yang menyebabkan mereka kehilangan
kewarganegaraannya dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Ini
menyebabkan orang-orang Rohingya mengungsi ke Thailand, Malaysia dan
Indonesia.
Bahasa
Rohingya
(Ruáingga) adalah sebuah bahasa yang dituturkan etnis Rohingya di
Arakan di Myanmar. Bahasa ini mirip dengan Bahasa Chittagonia yang
digunakan di kawasan Chittagong di Bangladesh.
Dalam
sejarahnya, bahasa ini telah ditulis dalam berbagai jenis aksara,
termasuk alfabet Arab, Urdu, aksara Hanifi, alfabet Myanmar, dan yang
terbaru, Rohingyalish, yang dibentuk dari alfabet Romawi. Naskah
berbahasa Rohingya tertua yang ditulis dengan alfabet Arab berasal dari
lebih dari 300 tahun lalu. Saat Negara Bagian Rakhine (Arakan) masih di
bawah pemerintahan Britania Raya (1826–1948), etnis Rohingya umumnya
menggunakan bahasa Inggris dan Urdu untuk komunikasi tertulis. Sejak
Myanmar merdeka pada tahun 1948, segala bentuk komunikasi resmi
menggunakan bahasa Myanmar.
Baca Juga:
√ Lengkap Alat Musik Tradisional Palembang Beserta Gambarnya
Pada
tahun 1975, sebuah jenis sistem tulis baru diciptakan menggunakan
alfabet Arab; ada pula cendekiawan yang menggunakan alfabet Urdu untuk
menutupi kekurangan alfabet Arab, namun keduanya tidak menghasilkan
hasil yang memuaskan dan orang-orang Rohingya kesulitan membaca tulisan
yang menggunakan alfabet Arab maupun Urdu.
Molana
Hanif dan rekan-rekannya kemudian mengembangkan sekelompok baru huruf
berorientasi kanan ke kiri yang berdasarkan alfabet Arab ditambah dengan
beberapa pinjaman dari alfabet Romawi dan Myanmar, namun meskipun
dianggap oleh para cendekiawan sebagai suatu perbaikan dibandingkan
sistem tulis sebelumnya, tetap saja sistem baru ini dikritik karena
banyak huruf yang terlalu mirip dengan huruf lainnya. Tak lama kemudian,
E.M. Siddique memilih jalan baru dengan menggunakan huruf Latin untuk
menulis Bahasa Rohingya. Hasilnya adalah sistem yang disebut
Rohingyalish yang terdiri dari 26 huruf Romawi, lima huruf hidup
beraksen, dan dua huruf Latin tambahan untuk bunyi retrofleks dan nasal.
Sumber referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Rohingya
https://id.wikipedia.org/wiki/Rohingya
http://www.kompasiana.com/mr_ded/rohingya-sebuah-tinjauan-sejarah-atas-konflik-yang-berkepanjangan_55602aa699937379578b4581
Belum ada Komentar untuk "Sejarah dan Asal Usul Rohingya di Myanmar dan Permasalahannya"